Kenali FOMO, Penyakit Sosial di Era Digital

Kenali FOMO, Penyakit Sosial di Era Digital

Dalam perjalanan tak terelakkan menuju konektivitas yang semakin mendalam, Fear of Missing Out (FOMO) merajai panggung kehidupan kita.

Fenomena psikologis ini tidak hanya mengilhami keputusan pembelian, tetapi juga merintis lorong-lorong kompleks dalam kesehatan mental manusia di era digital.

Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana rasa takut terhadap “ketinggalan” ini memainkan peran kunci dalam membentuk perilaku dan pandangan kita terhadap dunia yang terus berubah.

Apa Pengertian FOMO?

FOMO merupakan fenomena psikologis atau bahkan penyakit sosial yang merujuk pada kekhawatiran seseorang apabila melewatkan pengalaman, kegiatan, maupun informasi yang dianggap penting oleh orang lain.

Hal ini sering kali dipicu oleh media sosial, di mana seseorang dapat melihat aktivitas berbagai user yang terlihat menarik.

Kamus Oxford mendefinisikan FOMO sebagai kecemasan terhadap adanya peristiwa menarik yang terjadi di tempat lain, biasanya terstimulasi oleh hal-hal yang diunggah di dalam media sosial seseorang.

Senada dengan itu, JWT Intelligence menyebut FOMO adalah ketakutan seseorang ketika melihat orang lain mengikuti suatu kejadian yang dianggap menyenangkan, tetapi dirinya tidak bisa mengikuti kejadian tersebut.

Istilah FOMO pertama kali muncul pada awal 2000-an, dan awalnya terkait dengan keuangan.

Patrick J. McGinnis, seorang penulis, menggunakan termonologi tersebut untuk merujuk pada kekhawatiran investor tentang melewatkan peluang investasi.

Sejak saat itu, istilah ini berkembang menjadi konteks yang lebih luas, terutama dalam kaitannay dengan kehidupan sosial dan digital.

Gejala-Gejala FOMO

Hampir 24 jam membuka media sosial?

Hati-hati!

Cermati beberapa gejala FOMO berikut yang mungkin ada pada diri kita.

  1. Tidak Berhenti Memantau Media Sosial

Individu yang mengalami FOMO cenderung secara terus-menerus memeriksa platform media sosial untuk memastikan mereka tidak melewatkan aktivitas atau peristiwa yang signifikan.

  1. Rasa Gelisah dan Kecemasan

Penderita FOMO seringkali merasakan gelisah dan kecemasan ketika berpikir bahwa mereka mungkin ketinggalan dari suatu pengalaman atau kejadian.

  1. Perbandingan Sosial yang Berlebihan

Gejala ini ditunjukkan dengan selalu membandingkan nasib dirinya dan orang lain, terutama melalui apa yang diposting di media sosial. Ini dapat mengarah pada rasa rendah diri serta ketidakpuasan terhadap kehidupan.

  1. Kesulitan Fokus pada Aktivitas Saat Ini

Seseorang yang mengalami FOMO mungkin kesulitan fokus pada aktivitas atau kegiatan saat ini karena pikiran mereka terpaku pada apa yang orang lain lakukan.

  1. Tidak Pernah Merasa Puas dan Cukup

Individu dengan FOMO kerap mengalami perasaan tidak puas atau merasa tidak mencukupi, terutama jika mereka tertinggal dari pengalaman yang dianggap penting.

  1. Penggunaan Media Sosial yang Tak Kenal Waktu

Gejala ini mencakup penggunaan media sosial yang tidak dibatasi. Umumnya, penderita akan menghabiskan waktu yang tidak proporsional untuk mengikuti berita atau aktivitas orang lain.

  1. Pengambilan Keputusan yang Dipengaruhi FOMO

FOMO dapat mempengaruhi keputusan seseorang, baik dalam memilih kegiatan maupun aspek kehidupan yang lebih besar seperti karier atau hubungan, karena dorongan untuk tidak ketinggalan.

  1. Peningkatan Stres dan Kecemasan

Gejala ini melibatkan peningkatan tingkat stres dan kecemasan sebagai respons terhadap perasaan bahwa sesuatu yang penting mungkin terlewatkan.

Cara Mengatasi FOMO

Sebagaimana penyakit lainnya, FOMO juga dapat disembuhkan. Terutama dengan menciptakan keseimbangan yang sehat di era digital yang membanjiri kita dengan berjuta informasi setiap hari.

Berikut ini cara-cara mengatasi FOMO yang bisa Anda coba.

  1. Kesadaran Diri

Langkah pertama dalam mengatasi FOMO adalah menyadari dan mengenali perasaan ini. Pertanyakan diri sendiri ketika merasa tertekan karena takut ketinggalan.

Pahami bahwa tidak mungkin untuk terlibat dalam setiap kegiatan atau tren, dan itu tidak masalah.

  1. Tentukan Prioritas dan Nilai Pribadi

Identifikasi apa yang benar-benar penting bagi Anda.

Fokus pada hal-hal yang memberikan kepuasan dan memberdayakan diri sendiri, bukan hanya mengikuti arus tren.

  1. Batasi Penggunaan Media Sosial

Tentukan batasan pada waktu yang dihabiskan di platform media sosial. Seringkali, mengurangi paparan terhadap informasi yang diposting oleh orang lain dapat membantu mengurangi perasaan FOMO.

  1. Fokus pada Pengembangan Diri

Alihkan perhatian dari apa yang orang lain lakukan.

Tetapkan tujuan pribadi, jadwalkan waktu untuk belajar, atau terlibat dalam kegiatan yang meningkatkan keterampilan dan kesejahteraan pribadi.

  1. Jadwalkan Waktu “Offline”

Sengaja alokasikan waktu untuk beraktivitas tanpa menggunakan perangkat digital.

Ini dapat membantu Anda terhubung dengan dunia nyata, meningkatkan kehadiran di momen saat ini, dan mengurangi tekanan dari perbandingan sosial di dunia online.

  1. Pelajari dan Terapkan Mindfulness

Praktik mindfulness atau kesadaran diri secara utuh dapat membantu mengatasi perasaan FOMO. Latihan meditasi atau teknik relaksasi lainnya dapat membantu menenangkan pikiran dan mengurangi tekanan emosional.

Dengan mengambil langkah-langkah ini, Anda dapat membangun kekuatan untuk menghadapi dan mengatasi FOMO.

Menciptakan keseimbangan antara koneksi digital dan kesejahteraan pribadi adalah kunci untuk mengembangkan hubungan yang sehat dengan dunia yang terus berkembang.

5 Tips Sederhana agar Tetap Produktif Meski Bekerja dari Rumah

5 Tips Sederhana agar Tetap Produktif Meski Bekerja dari Rumah

Kata siapa bekerja di rumah itu enak?

Bagi sebagian orang, tetap produktif selama berada di rumah tidaklah mudah. Terkadang, ada saja urusan domestik yang perlu dituntaskan. Mulai dari cucian hingga piring-piring kotor. Belum lagi jika punya anak-anak kecil.

Ada nggak sih cara khusus untuk mengoptimalkan produktivitas di rumah seraya mengatur work-life balance yang tepat?

Demi menjawab pertanyaan tersebut, kami telah menyiapkan 5 tips simpel berikut supaya kamu tetap produktif selama working for home!

  1. Tidur Lebih Banyak

Loh, kok malah disuruh tidur?

Bekerja di rumah bukan berarti wajib on 24 jam. Kamu tetap harus menggunakan pola bekerja selama 8 jam setiap hari, kemudian tidur 7-9 jam di waktu malam. Boleh juga ditambah tidur siang sekitar 15-20 menit.

Pola ini akan membantu menjaga ritme tubuh. Tidur ibarat ramuan ajaib yang dapat meremajakan kulit dan pikiran. Otak yang segar tentunya lebih memberikan energi untuk menyelesaikan pekerjaan.

  1. Penuhi Nutrisi Tubuh

Walaupun penggila sains, Thomas A. Edison bukan hanya berkutat pada penemuan ilmiah. Dia juga menaruh perhatian pada bidang nutrisi dan kesehatan.

Pada 1903, Edison pernah berujar, “Dokter di masa depan tidak akan memberikan obat. Tetapi mereka akan menganjurkan pasiennya untuk mulai peduli pada tubuh, melakukan diet, serta menemukan penyebab dan metode pencegahan penyakit tertentu.”

Apa yang diserap tubuh memainkan peran besar pada apa yang kita rasakan sepanjang hari.

Dibandingkan cuma rasa, pilihlah santapan yang mendukung kesehatan. Misalnya makanan yang mengandung serotonin tinggi, seperti telur, tahu, ikan salmon dan kacang-kacangan. Serotonin merupakan enzim yang memproduksi perasaan bahagia.

Memenuhi tubuh dengan asupan yang tepat akan menjaga produktivitas kita dalam jangka lama.

  1. Yuk, Olahraga!

Selain mampu mengurangi berat badan dan memperbesar massa otot, olahraga juga punya segudang manfaat bagi kesehatan mental dan emosi kita.

Olahraga seperti bersepeda, lari, atau renang bisa membantu mengatasi depresi maupun kekhawatiran berlebih. Kegiatan-kegiatan tersebut turut meningkatkan aktivitas di frontal lobe, yakni bagian otak yang terasosiakan dengan perasaan positif dan proses kognitif.

Gerakan tertentu bahkan membantu tubuh memproduksi protein Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Jenis protein ini berperan dalam kemampuan belajar dan mengingat hal baru.

  1. Bikin Jadwal

Bekerja dari rumah memiliki banyak kemewahan dibandingkan di kantor. Karenanya, kita mudah sekali terjebak pada mindset “fleksibel”.

Waktunya kerja, dipakai istirahat. Saatnya istirahat, malah bekerja.

Saat bekerja secara remote, aturlah jadwal kapan dan bagaimana kamu mengerjakan setiap tugas. Tentukan jam berapa mulai dan berhenti bekerja.

Jadwal yang tepat akan menciptakan batas yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan harianmu.

  1. Teknik Manajemen Waktu

Kita sering menyalakan alarm untuk bangun tidur atau memasak. Tetapi kita hampir tidak pernah mengeset timers pada pekerjaan.

Manfaatkanlah teknik manajemen waktu demi membuat diri lebih disiplin di rumah. Contohnya, Teknik Pomodoro.

James Cirillo, si penemu teknik ini, memecah waktu pekerjaan menjadi periode-periode kecil.

Periode pertama, fokus bekerja selama 25 menit tanpa melakukan aktivitas lain. Kemudian, break singkat selama 5 menit. Begitu seterusnya. Kamu boleh berhenti sejenak lebih lama hanya pada 3 periode terakhir.

Teknik ini terbukti dapat meningkatkan produktivitas secara signifikan dengan menghilangkan apa pun yang mengalihkan fokus kita untuk jangka waktu yang lebih lama.

***

Kunci paling penting dari produktivitas adalah menjauhkan segala macam distraksi. Tidak mudah, memang. Namun, semoga 5 tips sederhana di atas dapat membantu menjaga ritme kerjamu.

10 Skill yang Wajib Kamu Miliki di Tahun 2022

10 Skill yang Wajib Kamu Miliki di Tahun 2022

Bayangkan ketika semua orang mengetahui nasibnya di masa depan.

Sayangnya hingga saat ini, sikap halu tersebut tidak mungkin terwujud.

Masa depan menjadi spesial justru karena kemisteriannya.

Dibandingkan menerka-nerka, manusia yang bijak justru sibuk memperbaiki diri dan meningkatkan kompetensi.

Beruntung, World Economic Forum pada 2018 silam merilis hasil riset mengenai pekerjaan dan keahlian yang akan berkembang di waktu mendatang.

Dalam laporan tersebut, WE Forum juga menyebut ada 10 skill yang banyak dicari terutama pada tahun 2022. Siapkan dirimu!

Karakter Pekerjaan di Tahun 2022

WE Forum memprediksi sebagian besar pekerjaan akan mudah berubah secara signifikan.

Ini berarti, kamu tidak cukup hanya menguasai satu keterampilan.

Proporsi skill inti yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan yang sama secara terus-menerus diperkirakan hanya sekitar 58 persen.

Sebaliknya, seorang karyawan sangat mungkin mengerjakan tugas di luar kebiasaannya. Peluang pergeseran pekerjaan ini mencapai 42 persen.

Karena perubahan yang dinamis tersebut, keterampilan berupa berpikir analitis dan pembelajaran aktif akan semakin menonjol.

Begitu pula dengan kompetensi teknologi, seperti pemrograman dan robotik.

Skill dasar seperti kreativitas, orisinalitas, inisiatif, pemikiran kritis, persuasi, dan negosiasi juga akan meningkat nilainya. Ditambah keahlian dalam memperhatikan detail, ketahanan, fleksibilitas, serta pemecahan masalah yang kompleks.

Keterampilan di atas umumnya dianggap sebagai keahlian manusia yang belum bisa tergantikan oleh mesin dan algoritma apa pun.

2022 Skills Outlook

Laporan bertajuk Future of Jobs Report 2018 dari WE Forum itu selanjutnya menyebut ada 10 skill yang akan tumbuh di tahun 2022, yakni sebagai berikut:

  1. Inovasi dan berpikir analitis
  2. Strategi pembelajaran dan pembelajaran aktif
  3. Kreatif, orisinialitas, dan inisiatif
  4. Desain teknologi dan programming
  5. Pemikiran kritis, persuasi, dan negosiasi
  6. Pemecahan masalah yang kompleks
  7. Kepemimpinan dan pengaruh sosial
  8. Kecerdasan emosional
  9. Perhatian terhadap detail, ketahanan, dan fleksibilitas
  10. Analisis sistem dan evaluasi

Bercermin pada riset ini, kita tentu perlu menyulap diri menjadi pembelajar seumur hidup.

Menjadi orang-orang yang tidak cepat puas dengan skill yang sekarang dikuasainya.

Menjadi orang-orang yang banyak mendengar, banyak membaca, serta cepat beradaptasi terhadap setiap perubahan.

Terlebih, banyak pekerjaan yang dilakukan manusia saat ini—semisal berkomunikasi, berinteraksi, mengoordinasikan, dan mengelola sesuatu—akan mulai dilakukan oleh mesin, meskipun pada tingkat yang lebih rendah.